Subscribe:

BELANDA

Jaman Peralihan ( 1800 – 1830)
Tahun 1800-1830 kita namakan Jaman peralihan karena pada saat-saat itu terjadinya proses pemisahan pengusaan-penguasan daerah dari induk semangnya yaitu Kesunanan dan Kesultanan.
Penamaan diatas sebenarnya hanya kita pakai untuk menyatakan bahwa pada saat-saat ini terjadi peralihan “pengemudi” politik daerah. Semula kegiatan sosial politik daerah-daerah tergantung pada kesunanan dan kesultanan.
Benar VOC telah banyak berpengaruh terhadap kedua kerajaan ini tetapi nyatanya campur tangan didalam soal-soal daerah tidak nyata dapat nyatanya lihat. Hanya akibatnya yang dirasakan oleh rakyat di daerah-daerah atau di Kabupaten.
Pemakaian istilah jaman Peralihan diatas memang kita sesuaikan dengan maksud penulisan buku ini, yaitu meninjau sejarah daerah dalam hal ini ialah daerah Tulungagung.
Kedalam jaman ini termasuk jaman Pengaruh Perancis belnda yang pemegang kekuasaannya di Indonesia dijabat oleh H.W.Daendels. jaman Inggris, pemerintahan Indonesia dikemudikan oleh T.S.Raffles, jaman komisaris Jenderal (1616 – 1819) dilaksanakan oleh 3 orang yaitu Elout, Buyskus dan Van Der capellen. Dan yang terakhir Jaman Penyusunan kekuasaan kolonialisme Belanda di Indonesia tahun 1819 – 1830
Pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal daendals penderitaan rakyat Indonesia makin meningkat. Hal ini terjadi karena adanya proyek-proyek pertahanan yang dilaksanakan oleh daendals memerlukan tenaga-tenaga rodi (kerja paksa) yang cukup banyak.
Usaha daendals memperluas kekuasaan pada kerajaan-kerajaan Indonesia mengakibatkan makin berkurangnya hak dan kekuasaan raja-raja tersebut. Mereka mulai dipisahkan dari Bupati-Bupati bahwahannya dengan cara menjadikan bupati sebagai pegawai pemerintah.
Usaha sentralisasi pemerintah mulai dilaksanakan sebab itu pada saat ini diadakan perubahan pembagian daerah terutama di Pulau Jawa. Jawa dibagi menjadi 9 karesidenan (prefectuur) yang dikepalai oleh prefect. Di Jogya dan Solo di tempatkan pegawai tinggi Belanda dengan pangkat minister yang derajatnya sama dengan Sultan dan Sunan.
Bupati-bupati langsung dibawah kekuasaan prefect-prefect dan mereka tidak usah membayar upeti tetapi boleh memungut pajak yang hasilnya sebagai harus diserahkan kepada kepada pemerintah Belanda.
Pengadilan mulai diadakan di kabupaten-kabupaten yaitu :
Pengadilan rendah. Di tingkat karesidenan diadakan pengadilan menengah sedangkan mahkamah tinggi hanya diadakan di Semarang dan Surabaya. Kecuali itu bagi orang-*orang asing Barat dan asing Timur diadakan pengadilan tersendiri.
Untuk memperoleh keuangan Daendals memperluas penanaman kopi. Usaha-usaha lain dalam hubungan mencari uang dengan menjual tanah-tanah kepada fihak partikelir, monopoli garam, candu dan penyelenggaraan hutan-hutan jati.
Daendals memperbesar kesengsaraan rakyat. Sebab itu kemungkinan dia ditarik kembali ke Eropa. Sebagai gantinya adalah Gubernur Jenderal Jansens (1811).
Pada saat Jnssens berkuasa inilah datangnya Inggris menyerbu pulau jawa (1811).
Masa pemerintahan Inggris (Raffles) Indonesia tidak ada bedanya dengan jaman Daendals. Penguasa-penguasa raja Kejawen (Jogja danSolo) dipaksa pula untuk diberikan hak-hak kekuasaanya. Bahkan daerah Jogya dikurangi untuk diberikan kepada Pangeran Notokusumo yang telah berjasa dalam membantu Inggris. Pangeran Notokusumo kemudian bergelar Paku Alam (1813).
Raffles sebagai penguasa di Indonesia tidak menyetujui adanya sistem monopoli seperti pada jaman VOC sebab itu sebagai gantinya dia mengemukakan konsep baru mengenai perpajakan.
Ketika terjadi perubahan politik di Eropa yang antaranya menghasilkan Konvensi London (1814) akhirnya Inggris harus lepaskan Indonesia dan dikembalikan pada Belanda. Untuk menerima penyerahan ini pemerintah Belanda membentuk panitia yang disebut Komisaris Jenderal beranggotaan 3 orang yaitu : Elqut, Buyskus dan Van Der capellen. Mereka mulai bekerjanya tahun 1816 – 1819. dan ternyata proses penyerahan itu tidak lancar karena raffles yang tetap ingin berkuasa di Indonesia itu mempersulit penyerahan tersebut.
Tugas pokok komisaris jenderal ini mengambil oper kekuasaan dari Inggris, menyelesaikan urusan pemerintah, kepegawaian serta melaksanakan dasar-dasar pemerintahan baru di Indonesia.
Hal lain yang penting yaitu memikirkan tentang modal dan tenaga partikelir bagi Indonesia, karena di negara Belanda telah banyak orang-orang kaya yang memiliki modal partikelir.
Tahun 1819 tugas Komisaris Jenderal dianggap selesai dan van der Capellen tetap tinggal di Indonesia sebagai gubernur Jenderal (1819 -1826)
Sehubungan dengan pelaksanaan dasar-dasar pemerintahan baru untuk Indonesia diadakanlah perubahan-perubahan mengenai kepegawaian tata usaha pemerintah. Di bawah Gubernur Jenderal bertindak sebagai badan pemerintah yaitu Residen selanjutnya Asisten Residen dan kemudian Kontrolir untuk penghasilan negeri.
Bupati-bupati diangkat dan dipecat oleh Gubernur-gubernur atas usul Residen.
Pada saat ini Bupati Ngrowo yang telah ditunjuk adalah R. M. T. Pringgodiningrat. Pada masa jalan dibangun pusat kota kabupaten baru yang terletak di sebelah timur sungai Ngrowo, yaitu juga sekarang menjadi pusat kota Tulungagung. Pada saat pembangunan pusat kota ini tidak dapat dilupakan bantuan keluarga Kyai Abu Mansur dari Tawangsari. Sebagai kepala desa perdikan dia merasa berhutang budi kepada Sultan dan keturunan-keturunannya yang telah menjadikan desa Tawangsari sebagai desa perdikan.
Abu Mansur mengerahkan sebagian besar rakyatnya untuk pembangunan tersebut.
Seperti yang telah kita uraikan pada bab yang lampau, bahwa pembangunan pusat kota ini tidak terlepas dari pola tradisional keraton, hanya di sana-sini ada perubahan sesuai dengan kebutuhan, seperti umpamanya tempat tinggal Assisten-Residen, Kontrolir dan sebagainya, yang letaknya perlu dipusat kota pula.
Pendirian pusat kota ini terjadi pada tahun 1824, yang sebagai tugu peringatan didirikan patung-patung raksasa pada tiap-tiap dalan jurusan keluar kota, yaitu tepat di tapal batas kota. Bangunan ini sekarang dikenal sebagai “Retjo Pentung”.
Sebenarnya Retjo Pentung ini merupakan candrasengkolo memet (berwujud gambar) yang dengan kalimat berbunyi “Dwi raseksa si nabda Ratu” dan menunjukkan angka tahun Jawa 1752 atau tahun masehi 1824. Memang pada masing-masing tempat dimana patung-patung tersebut didirikan, ada dua buah retjo pentung di kanak kiri jalan. Di bagian selatan terletak di dekat desa Beji, di timur di desa Jepun, di utara di desa Kedungwaru dan di barat di desar Tertek / Kedungsoko. Tentang candra sengkala ini, arti, fungsi dan penempatan lukisan atau kalimatnya memang sesuai dengan peristiwa yang diperingati. Menurut kebiasaan Hindu-Budha, patung raksasa seperti retjo pentung itu disebut dwarapala yang penempatannya di pintu gerbang masuk komplek, percandian, istana ataupun kota. Sehingga kalau retjo pentung yang kita bicarakan di atas peletakannya kita katakana di tapal batas kota, kiranya tidak menyimpang dari arti kebiasaan-kebiasaan Hindu-Budha dahulu. Dan dengan demikian kita dapat menyimpulkan bahwa luas pusat kota dewasa ini kurang lebih 1 km2.
Bupati-bupati yang diangkat Gubernur Jendral mendapat gaji tetap dari pemerintah, tetapi mereka masih berhak mempekerja rodikan tenaga rakyat beberapa hari dalam setahun bagi tiap orang. Beban rakyat semacam ini disebut “pancen”.
Susunan pemerintahan kabupaten saat ini terdiri dari Bupati yang dibantu oleh seorang patih. Di bawah Bupati adalah Wedana, selanjutnya Asisten Wedono yang dibantu oleh beberapa orang menteri.
Modal partikelir, terutama modal orang-orang Cina dewasa ini memang sudah banyak ditanam di Indonesia. Penanaman itu terutama dalam bentuk pemborongan bea dan pajak, pemborongan tempat-tempat pembuatan garam, yang pada masa ini penjualannya menjadi monopoli pemerintah. Dalam hal pembuatan garam ini orang-orang Cina dapat mempekerja rodikan orang-orang di sekitar tempat-tempat pembuatan garam itu tanpa mebayar upah buruh.
Penjualan garamnyapun dilaksanakan oleh pemborong-pemborong Cina tersebut. Kadang-kadang mereka mengambil untuk tidak tanggung-tanggung. Harga garam perkojan di pantai 25 ringgit, dijual ke dalam negeri (pedalaman sampai mencapai harga 140 ringgit perkojan.[1]
Untuk tempat-tempat penyimpanan barang-barang dagangan atau hasil-hasil penarikan dari rakyat yang berupa hasil bumi didirikanlah oleh pemborong-pemborong tersebut gudang-gudang. Di daerah Tulungagung gudang-gudang semacam itu terdapat pula, yaitu gudang garam dan kopi yang letaknya di tepi sungai, di kompleks Pasar Wage sekarang.
Melihat kenyataan-kenyataan semacam ini Van Der Capellen yang telah ditunjuk sebagai Gubernur Jendral di Indonesia tidak mau menjalankan prinsip-prinsip liberalisasi modal asing, seperti jang dianjurkan oleh pemerintah. Bahkan dia menunjukkan sikap konservatifnya dan mencabut izin-izin sewa menyewa tanah jang telah banyak dilakukan antara bangsawan-bangsawan Indonesia dengan golongan partikelir asing barat/timur.
Seperti telah kita terangkan di atas, bahwa pengertian pegawai-pegawai Istana dan Bupati-bupati menyebabkan suratnya penghasilan mereka dan mereka boleh dikata tinggal memiliki gelar-gelar belaka. Jalan satu-satunya untuk menutup hanyalah menjual harta miliknya atau menyewakan tanah “lungguh” / apanage mereka kepada modal asing. Publikasi Van Der Capellen tahun 1823, yaitu larangan sewa menyewa tanah menimbulkan penderitaan yang hebat bagi bangsawan-bangsawan, karena mereka harus mengembalikan uang sewa yang telah diterimanya dengan perhitungan yang lebih tinggi dari yang diterimanya. Hal ini diantaranya yang menjadi sumber Perang Diponegoro (1825-1830).
Perang ini meminta perhatian dan pengorbanan yang cukup banyak dari Belanda. Keadaan ini memaksa Belanda belum dapat campur tangan pemerintah daerah sepenuhnya. Baru sesudah selesai perang, hal tersebut dapat dilaksanakan. Sesudah perang ini bahkan Sunan dan Sultan benar-benar dianggap sebagai Pegawai Negeri dengan menerima gaji dari pemerintah.
Sesudah perang Diponegoro selesai, pengikut-pengikutnya yang tetap membenci Belanda banyak yang meninggalkan tempat tinggalnya dan pergi keluar daerah. Kebanyakan dari mereka ini kemudian mengganti namanya atau menghilangkan gelar-gelarnya yang biasa dipakai. Hal ini untuk menghindari agar tidak diketahui atau ditangkap oleh Belanda. Mereka pada umumnya hidup sebagai rakyat biasa, yang tidak ada sangkut pautnya dengan pemerintah Belanda. Di daerah Tulungagung juga kita jumpai orang semacam ini, yaitu yang dikenal dengan sebutan “Mbah LANGKIR”, bahkan dia dianggap sebagai wali, mungkin karena perbuatannya yang aneh-aneh, atau mungkin karena pernah mengajar mengaji. Setelah meninggal, orang ini dimakamkan di desa Winong. Di dekat bekas rumah kontroliran (tempat tinggal Bupati sekarang) ada bekas “pakipon” Mbah LANGKIR dan sampai sekarang tempat tersebut masih dianggap keramat. Kira-kira pada tahun 1948 tempat ini diperbaiki oleh Belanda.
9. Jaman Tanam Paksa (Cultur Stelsel) 1830-1870
Akibat Perang Diponegoro dan perang-perang lainnya di luar Jawa, ditambah dengan akibat pengaruh Perancis di negeri Belanda serta adanya perang-perang Eropa, keuangan negeri Belanda menjadi kosong. Sebab itu Indonesia yang merupakan negeri jajahan Belanda merupakan tempat untuk mencari keuntungan guna menutup hutang-hutang negeri Belanda.
Rencana perubahan politik untuk daerah dijajahkan, sudah sejak tahun1827 disampaikan oleh Du Bus kepada pemerintahnya. Pokok-pokok rencananya sesuai dengan rencana Elout dan jelas bertentangan dengan rencana Van Der Capellen.
Tatpi rupa-rupanya pemerintah Belanda masih ingin terus mempertahankan prinsip-prinsip yang pernah dilaksanakan VOC dahulu yaitu pengerukan kekayaan Indonesia untuk kepentingan negeri Belanda. Karena itulah rencana perubahan politik yang diterimanya adalah rencana yang dikemukakan oleh Van Den Bosch yang lebih sesuai untuk maksud-maksud tersebut. Rencana ini terkenal dengan sebutan “Cultur Stelsel” (Tanam Paksa).
Van Den Bosch diangkat sebagai Gubernur Jendral pada tahun 1827 dan tahun 1829 berangkat ke Indonesia. Dia tiba di Indonesia tahun 1830, tiga bulan sebelum perang Diponegoro selesai.
Aturan-aturan menurut rencana Van Den Bosch itu termuat di dalam staatsblad tahun 1834.
Menurut Van Den Bosch ketentuan-ketentuan menurut rencananya itu tidak bertentangan dengan adat kebiasaan di Indonesia, karena rakyat adalah penyewa-penyewa tanah pemerintah dan sebagai gantinya mereka hanya diwajibkan membayar pajak berupa sebagian dari hasil bumi yang harus diserahkan kepada pemerintah itu ditentukan jenisnya, yaitu barang-barang yang dibutuhkan oleh pasaran dunia.
Pokok-pokok ketentuan Cultuur Stelsel itu antara lain sebagai berikut:
1. Dengan anak negeri diadakan perjanjian bahwa sebagian dari tanah yang dikerjakan disediakan             untuk menanam tanaman-tanaman yang hasilnya untuk pasaran dunia.
2. Luas tanah yang disediakan 1/5 dari sekalian sawah desa.
3. Pekerjaan untuk mengerjakan tanaman pemerintah itu tidak boleh melebihi pekerjaan untuk  mengerjakan sawahnya sendiri.
4. Tanah yang disediakan untuk pemerintah bebas dari pajak.
5. Hasil-hasil bumi yang telah disetor bila ditaksir harganya melebihi sewa tanah tanah yang  diperhitungkan, kelebihannya akan dikembalikan.
6. Kerusakan tanaman yang terjadi karena bencana alam dipikul oleh pemerintah.
7. Penduduk bekerja dibawah pimpinannya sendiri-sendiri dan pegawai-pegawai Eropa mengawasi agar pengerjaan, pemungutan dan pengangkutan hasil-hasil tanaman dapat dilaksanakan sebaik-baiknya
8. Pekerjaan penduduk dianggap selesai bila tanaman sudah masak, sedangkan pengerjaan selanjutnya     akan diatur oleh perjanjian-perjanjian lain.
Aturan-aturan di atas memang mengharuskan pemerintah Belanda berhubungan langsung dengan daerah-daerahnya sampai kedesa-desa.
Sebab itulah sesudah selesainya perang Diponegoro pemerintah Belanda segera mengadakan perubahan politik.
Sunan / Sultan, harus tunduk kepada pemerintah Belanda dan mereka cukup menerima gaji sebagai pegawai negeri saja.
Pada tahun 1831 dikeluarka penetapan notaries untuk residen-residen yang baru diambil alih dari Kesunanan dan Kesultanan. Komisi Penerima (Comisie Ontvangers) dengan beslit dan Gurbenur Jendaral tanggal 17-5-1831 No. 436 bertindak sebagai pejabat Pemerintah.
Residensi-residensi yang diambil alih tersebut meliputi : Karesidenan Madiun, Bagelan, Bajumas dan Kediri.
Kabupaten Ngrowo yang termasuk Karesidenan Kediri pada masaini dipimpin oleh Bupati R.M.T. Jajaningrat (putera Bupati Pringgodiningrat).
Selanjutnya bupati-bupati diawasi lebih langsung lagi dan diminta untuk melaksanakan tugas-tugas lain disamping hanya menyediakan penyerahan paksa dari hasil produksi. Kontrolir-kontrolir juga dipekerjakan untuk mengawasi mereka dan dengan demikian diletakkan dasar bagi suatu sistem pemerintahan yang kekuasaannya meluas sampai kedesa-desa melalui penggunaan pengawas-pengawas pemerintah bangsa Indonesia.
Bupati-bupati seperti halnya Bupati Ngrowo di Tulungagung mau tidak mau harus menjalankan ketentuan-ketentuan diatas.
Bukan hasil pertanian saja sekarang yang diatur oleh Pemerintah Belanda, melainkan juga hukum dan tata tertib, kesehatan dan pemeliharan kesehatan, pekerjaan umum, gedung-gedung pemerintah, dan segi-segi lain dari kehidupan desa, yang sebelumnya tidak pernah mendapat campur tangan yang berarti.
37 Peraturan-peraturan tentang Cultuur Stelsel ini tidak memberatkan rakyat, tetapi dalam praktek kerjanya banyak menyimpang dari ketentuan-ketentuan, sehingga penderitan rakyat tetap berat bahkan makin meningkat dibanding dengan masa-masa sebelumnya.
Perjanjian-perjanjian dengan rakyat mengenai pemakaian tanah yang ditanami oleh pemerintah tak pernah diadakan. Luas tanah yang ditanami tidak hanya 1/5 bagian, bahkan sampai ½ bagian dan dipilih tanah-tanah yang subur. Waktu bekerja yang dibebankan kepada rakyat melebihi waktunya untuk mengerjakan sawahnya sendiri.
Kadang-kadang rakyat harus bekerja berminggu-minggu pada jarak yang jauh dari rumahnya.
Makan minum dan kebutuhan-kebutuhan primer yang lain harus disediakan sendiri.
Dalam hubungan penanaman tebu, rakyat harus berodi untuk membuat terusan-terusan, parit-parit, menebang kayu, membuat batu merah, genteng dan sebagainya untuk keperluan pembuatan pabrik-pabrik.
Sedang pajak tanah masih terus dipungut karena pemborong-pemborong masih berani membayar tinggi. Singkatnya segala peraturan mengenai Cultuur Stelsel menjadi aturan paksaan.
Cultuur procenten mendorong mereka untuk memeras rakyat.
Hasil bumi yang sangat dipentingkan pada masa itu adalah Tebu, Teh, Tembakau, lada, kayu manis, dan nilai juga ditanam. Perintah penanaman tanam-tanaman diatas dikeluarkan oleh Gurbenur Jendral, dengan beslit tanggal 30-03-1832 No. 3 (Stbl. 1832). Dan dikaresidenan Kediri percobaan penanaman diadakan didaerah Blitar. Penanaman tebu mulai diadakan saat ini didaerah Tulungagung, yaitu disepanjang daerah aliran sungai Brantas dan sungai Ngrowo. Pada tahun ini pula pemerintah menentukan bahwa pajak harus dibayar dengan kopi. Hal ini menunjukkan bahwa pasar dunia pemerintah mulai naik. Daerah karesidenan Kediri penanaman kopi ini mulai diperintah tahun 1833 (Stbl). Tiap daerah, atas perintah Residen harus dapat menghasilkan yang nilainya dua gulden perkapita. Dalam hubungan ini pemerintah Belanda mengetahui bahayanya modal China. Sebab itu bagi mereka diadakan larangan melakukan pekerjaan pertanian.
Hal ini mungkin pula dikhawatirkan makin meningkatnya pemerasan terhadap rakyat. Bahkan untuk mencegah kebebasan bergeraknya modal mereka diadakanlah peraturan tentang pajak penghasilan bagi orang-orang China (Stbl. 1832).
Orang-orang China pada tahun 1846 memeperoleh kebebasan berdagang memasuki kota-kota karesidenan dan kabupaten. Bahkan akhirnya mereka boleh menetap didaerah pula.
Kegiatan mereka dibidang perdagangan terutama memeperdagangkan barang-barang tekstil dan kelontong dan barang-barang impor lainnya.
Disini mereka bertindak sebagai penerus barang-barang impor dari pemerintah untuk disebarkan kepada rakyat. Kecuali itu orang-orang China ini juga ada yang memperdagangkan hasil-hasil bumi yang tidak dilarang oleh pemerintah, dan kebutuhan minyak bakar atau lain-lain yang dituntut rakyat, mereka layani dalam bentuk perdagangan biasa.
Pengambilan sarang burung, yang dulu banyak diborong oleh orang-orang China mulai pula diadakan larangan. Cultuur Stelsel disamping membawa perubahan sistim pemerintahan sampai ke desa-desa, juga merupakan pendorong merembesnya perekonomian uang dan barang-barang impor sampai ke desa-desa. Orang-orang China sebagai perantaranya.
Pemerintah mulai mengeluarkan uang kertas dan uang logam seri Javasche Bank sejak tahun 1832 (Stbl.).
Untuk meningkatkan kegiatan pelaksanaan Cultuur Stelsel pemerintah mengeluarkan penetapan (Stbl.1836) tentang pemeriksaan tanam-tanaman di Jawa Timur oleh bupati-bupati.
Mereka harus benar-benar giat mengawasi penanaman didaerahnya masing-masing. Kemunduran tanaman atau produksi didaerah dapat membawa turunnya pangkat mereka.
Masa yang benar-benar dirasakan berat oleh pejabat-pejabat daerah dan rakyat terjadi sekitar tahun 1830 sampai dengan tahun 1850, yaitu masa yang meliputi taraf yang mempersiapkan sampai taraf memuncaknya nafsu memperoleh hasil sebanyak-banyaknya bagi pemerintah Belanda. Antara tahun 1848 sampai 1850 terjadi kelaparan beberapa kali di Jawa Tengah, karena adanya paceklik yang hebat sebagai akibat petani-petani banyak meninggalkan sawah sendiri, tidak sempat memelihara tanaman padinya.
Di daerah Grobongan menurut perhitungan 90 % penduduk meninggal karena kelaparan.
Jumlah penduduk didaerah itu 89.500 orang sisanya tinggal 9000 orang.38
Pada saat ini rakyat benar-benar tertekan ekonomi rumah tangganya, Mereka tidak mampu mengadakan gerakan-gerakan pemberontakan yang berarti. Memang dibeberapa daerah ada gerakan kecil-kecilan seperti pembakaran kebun tebu dan lain-lain, tetapi tenaga sudah lemah sehingga sambutan tidak ada. Meskipun demikian penguasa-penguasa daerah yang merasa senasib-sepenanggungan dengan rakyatnya sedapat-dapatnya berusaha menghidupkan jiwa perjuangan dan ketabahan dalam menghadapi penderitaan-penderitaan.
Usaha R.H.T Djajaningrat bersama rakyat mendirikan Masjid kota tahun 1847 kiranya dapat kita nilai sebagai usaha menghidupkan jiwa perjuangan dan ketabahan rakyat daerah Ngrowo. Disamping sebagai kelengkapan susunan kota kabupaten bangunan ini merupakan tempat berkumpulnya ulama-ulama dan santri-santri. Dan disinilah kiranya dapat dihidupkan mental keagamaan dan ketabahan di dalam menghadapi kesulitan-kesulitan. Bahkan lebih dari itu, kemungkinan adanya tempat berkumpul ini diharapkan menimbulkan kembali jiwa perjuangan melawan kelaliman. Djajaningrat tentu tidak melupakan perjuangan salah seorang familinya (yaitu Pangeran Diponegoro) yang perjuangannya melawan Belanda tidak terlepas dari mental agama. Demikian pula diwilayah kekuasaannya sendiri ada suatu desa perdikan, yaitu Tawangsari, dimana di desa ini rakyat yang memiliki mental keagamaan yang kuat tetap menolak campur tangan Belanda di daerahnya.
Hal ini tentu merupakan pendorong bagi Djajaningrat untuk membangun tempat ibadah itu. Dan mengenai pembangunan ini tentunya bukan atas kehendak atau bantuan pemerintah Belanda, karena disepanjang lembaran-lembaran Staatsblad atau beslit-beslit tidak kami jumpai mengenai hal pembangunan tempat ibadah ini. Pembangunan ini tentu atas prakarsa pimpinan daerah dibantu oleh rakyatnya.
Bagaimanapun beratnya tekanan ekonomi rakyat dewasa itu bukanlah menjadi penghalang tidak terbangunnya Masjid itu sebab sampai kinipun masih dapat kita saksikan fanatisme agama dapat mengesampingkan segala-galanya.
Undang-undang Dasar Negeri Belanda sejak tahun 1814 sampai dengan tahun 1848 menetapkan bahwa raja mempunyai hak penuh atas pemerintahan di negeri masing-masing jajahan, sehingga pemerintah yang diberikannya kepada Gubernur Jenderal dan pelaksanaannya dinegeri jajahan, Dewan Perwakilan rakyat tidak perlu mengetahui. Malahan keuntungan kepada negeri Belanda, tiap tahun Twede kamer (Badan Perwakilan Rakyat) menerima untung / uang dari Indonesia dengan tidak boleh menanyakan dengan cara apa uang itu diperolehnya.39
Perubahan UUD Negeri Belanda yang terjadi sesudah tahun 1848 adalah karena pengaruh Revolusi Pebruari di Eropa dimana golongan Liberal memperoleh kemenangan. Di negeri Belanda-tokoh Liberal yang menentang politik jajahan dewasa itu adalah Buron Van Hoevell, yang pokoknya mendesak agar pemerintah memperhatikan kepentingan rakyat Indonesia. Gubernur Jenderal harus melindunginya dari tindakan sewenang-wenang.
Kemenangan golongan Liberal ini bagi Indonesia baru tampak dengan terbentuknya Regerings Reglement (P.P untuk daerah Jajahan). Pokok-pokoknya antara lain menyebutkan bahwa rakyat harus dilindungi dari tindakan sewenang-wenang penetapan kerja paksa dan penetapan pajak dan sebagainya.
Di samping itu hal yang sangat penting bagi golongan Liberal sendiri ialah izin penyewaan tanah kepada kapitalis-kapitalis guna menanamkan modalnya di Indonesia.
Meskipun sudah ada peraturan demikian golongan Liberal-masih belum dapat menghalang-halangi diteruskannya Cultuur Stelsel karena kenyataannya negeri Belanda masih belum dapat melepaskan politik batig saldo (mencari kelebihan untung).
Atas pengaruh penulis-penulis dari golongan Liberal, akhirnya Cultuur Stelsel sedikit demi sedikit diperlunak dan dikurangi.
Di atas telah kita kemukakan bahwa tahun 1846 orang-orang China dengan beslit GG tanggal 29 Agustus 1846 No. 7 (Sttl) di perkenankan msuk dan menetap didaerah-daerah kabupaten; mereka bergerak dalam bidang perdagangan eceran. Disamping itu juga masih menjadi pemborong-pemborong pengangkutan barang-barang hasil bumi dari daerah pedalaman.
Gudang-gudang mereka didirikan ditempat-tempat tertentu, seperti di Bandar-bandar sungai tempat hasil pertanian akan dikirim keluar atau tempat membongkar barang impor untuk daerah-daerah. Di daerah Ngrowo bandar-bandar semacam ini kita dapati sungai Ngrowo antara lain yang terdapat di desa Kutoanyar sekarang dan di desa Plandakan, disebelah utara jembatan Grobogan Mangunsari. Sampai masa akhir-akhir ini bekas-bekas peninggalan itu masih dapat kita lihat berupa gudang minyak dan sebagainya. 40
Orang-orang China pada zaman ini sudah mempunyai modal yang kuat yang dipupuk sejak masa-masa sebelumnya (VOC). Atas kesanggupan mereka menyesuaikan diri pada setiap ada perubahan politik, dan kemampuan mereka menggunakan uang untuk kepentingan ekonomi mereka, sampai dewasa ini mereka mempunyai kedudukan sosial-ekonomi yang relative lebih tinggi dari penduduk asli pada umumnya.
Tepatnya berkembang orang-orang China didaerah-daerah itu rupa-rupanya mendapat perhatian pemerintahan Belanda pada saat iu. Di kabupaten Ngrowo pada tahun 1861 (beslit G.G. tanggal 27 Maret 1861 No. 39- stbl) ditetapkan adanya pengurus untuk orang-orang China, yiatu seorang letnan China. Pada saat ini pejabat bupati di Tulungagung (Ngrowo) yaitu R.M.T Soemodiningrat (putera Djajaningrat yang menjabat tahun 1856 – 1864. pada masa pemerintahannya, di kabupaten Ngrowo ditetapkan adanya seorang menteri kali yang berkedudukan di desa Pakis (Beslit G.G 22/1-1965 No. 3 Stbl). Tugasnya adalah mengatur pembersihan sungai Ngasinan dari desa Ngasinan sampai Tulungagung. 41 Karena di Tulungagung – terletak gudang-gudang kopi dan garam pemerintah (dikompleks Pasar Wage sekarang).
Pada masa Bupati ini pula kabupaten Ngrowo dibagi menjadi dua distrik (1864 stbl), yaitu distrik kota Tulungagung dan distrik Ngunut. Di distrik Ngunut ditempatkan seorang kepala distrik (Wedana), seorang Mantri-Polisi, seorang Mantri Kopi dan tiga orang Djogokarso.
Pengganti Bupati ini adalah Raden Tumenggung Djojoatmodjo (1864-1865). Dia tidak lama memerintah. Penggantinya ialah Raden Tumenggung Gondokoesoemo, yaitu putera Bupati Soemodiningrat, menjabat tahun 1865 – 1879.
Pada masa rakyat Indonesia sangat menderita, Hultatuli (Douwes Dekker) bekas residen di Lebak (Banten) sngat berjasa bagi rakyat Indonesia, karena dia membeberkan hal kesengsaraan rakyat dalam buku yang bernama max Havelaar, sehingga banyak orang-orang Belanda mengakui kebenaran adanya kesengsaraan yang timbul oleh Cultuur Stelsel. Sebab itu pada masa Fransenvan de Putte menjadi menteri jajahan (1863 – 1866) diadakan perbaikan-perbaikan antara lain penyerahan wajib cengkeh dan pala di Maluku dihapuskan. Penanaman paksa yang lain dihapuskan pula, kecuali tebu dan kopi. Demikian pula culture procenten dihilangkan.
Dari jenis-jenis tanaman yang paling akhir penghapusannya adalaha tanaman kopi, yaitu tahun 1915. Sedang tebu dihapuskan tahun 1870. Karena itu sehubungan dengan kenyataan ini maka pabrik gula di Tulungagung, yaitu pabrik Mojopanggung yang didirikan pada tahun 1852 masih tetap berjalan terus sebagai tempat pengolahan hasil-hasil tebu di daerah ini. Direksi pabrik yang terkenal adalah tuan Dinger. Setelah dia meninggal anak perempuannya yang menggantikan pemimpin pabrik tersebut. Pabrik gula Kunir (Ngunut) didirikan pada tahun 1927.
Pada tahun 1912 Nona Dinger yang mempelopori eksplotasi marmer dan gamping di daerah selatan. Nona ini bernama L.C. Dinger yang oleh rakyat lebih dikenal dengan sebutan “Nyah kontring”.42
Pada tahun 1864 dikeluarkan oleh pemerintah Belanda Undang-undang keuangan (Comptabliteits wet) dimana ditentukan bahwa anggaran keuangan untuk daerah jajahan (Indonesia) harus ditetapkan oleh Staten Generaal. Ini berarti bahwa Staten Generaal dapat langsung mengontrol soal-soal keuangan daerah jajahan.
Penghapusan tanam paksa tebu terjadi setelah keluar Undang-undang Gula (1870) dan sejak itu pabrik-pabrik dan cara pengesahannya diambil alih oleh modal asing.
Selama berlangsungnya Cultuur Stelsel sering terjadi kerusuhan-kerusuhan yang ditimbulkan oleh rakyat yang merasa tertekan – ekonominya atau karena berat kewajiban-kewajibannya. Hal-hal semacam ini oleh pemerintah Belanda ditindak dengan kejam tanpa peradilan. Kantor pengadilan untuk kota-kota afdeling di Jawa dan Madura baru diadakan pada tahun 1866 (beslit GG. Tgl. 31/12-1866-Stbl). 43
Hal ini sebenarnya dapat kita mengerti bahwa tidak lain adalah karena pengaruh golongan Liberal.
Kerusuhan-kerusuhan yang disimpulkan oleh rakyat itu terutama terjadi di luar kota, seperti pada kebun-kebun tebu, kopi dan hutan-hutan. Sebelum dibentuk kantor Pengadilan memang pemerintah Belanda telah mengeluarkan instruksi untuk mengawasi hutan yang lebih ketat (beslit G.G. tgl. 14/6-1866 Stbl).
Untuk daerah Ngrowo hutan-hutan yang harus diawasi secara teratur sebagai berikut :
a. Distrik pakunjen, meliputi hutan: Tjatut, Telungsung, Sramanan, Djatiredjo, Retjoguru, Grendjeng, Djatiprahu, Gilingsem, Lungurbuntung, Taming, dan Balang.
b. Distrik Kalangbret, hutan : Djatiwekas dan Kamal.
c. Distrik Ngunut, hutan : Djatidowo, Suramenggalan, Djamblang, Patak-banteng, Remang dan Bandjaredjo.
Cultuur Stelsel benar-benar lumpuh sejak dikeluarkannya Undang-Undang Tanah (Agranisohe Wet) pada tahun 1871, dimana modal-modal asing dapat bergerak beban terutama dalam bidang pertanian dan perkebunan.